Oleh:
Mai Hamdati
Tak ada yang bisa ku bagi denganmu, tak ada yang ingin ku bagi denganmu, tak ada
apapun, satupun bahkan sekedar titik,
koma, atau apa saja.
***
Masa laluku adalah sumur kering yang tidak meninggalkan
setetespun ingatan yang tersisa. Jadi untuk apa kau masih bertanya dan masih
saja memaksa.
Katamu, “Aku begitu ingin tahu.”
Katamu, “Aku hanya ingin membantu.”
Hah,
tentu saja aku meringis mendengar
kata-katamu yang terdengar lugu. Berpikir negatif dengan rasa penasaranmu yang
terlalu.
“Aku tak butuh bantuanmu.” jawabku lirih seolah
sedang berbisik pada angin yang saat ini sedang menyapu wajahmu.
“Aku sungguh ingin membantu.” pintamu dengan memelas.
“Aku tak butuh bantuanmu.” penolakanku makin
mengeras.
Apa kau tidak bosan mendengar jawabanku yang
berulang-ulang. Tak ada yang bisa kurasakan saat ku kunyah kata-katamu kecuali
getir pasir yang kau jejalkan dengan mulutmu.
Kau memang keras kepala, terus saja datang tak kenal
titi mangsa. Mungkin kau sengaja mematikan detak angka yang melingkar di tangan
kirimu, di dalam bingkai kaca yang terpasang di dinding kamarmu, dinding ruang
tamumu, dinding dapurmu, bahkan di layar ponselmu supaya aku tahu bahwa kau
memang tak pernah bisa akur dengan waktu.
Pagi, siang, sore, dan malam kau selalu datang. Entah
itu hanya dalam pikiran atau sapaan di ponselku. Seperti malam ini, aku kembali menemukan sms dari nomor
yang kuberi nama atas namamu.
“Assalamu’alaikum Wr. Wb.” tulismu di awal kalimat. Selalu, ucapan salam
yang sempurna.
Kemudian tidak lupa disertakan gambar emosi berupa senyuman atau tawa ceria seperti biasa.
Setelah itu, kau akan mulai bertanya dan terus bertanya yang aku tak tahu
jawabannya kecuali kata entah lah, terserah lah, dan masa bodoh lah.
Sampai saat ini aku tidak suka, tapi juga khawatir
seandainya esok kau lupa apakah aku akan merindukannya.
***
Tak ada satupun yang kekal dan abadi di dunia ini.
Tidak ada pengecualian bahkan hati manusia. Dulu, aku sangat menyukai lelaki
sepertimu, tapi sekarang tak ada yang berkesan, entah itu hanya sebagai teman,
sahabat, atau sekedar orang yang baru kukenal.
“Kau suka membaca?” tanyamu ramah
“Dulu suka, sekarang tidak.” jawabku sedikit marah
“Kau suka menulis?” tanyamu selanjutnya
“Dulu suka, sekarang tidak.” jawabku masih sama
“Kau suka membaca novel?” pertanyaanmu yang ketiga
“Dulu suka, sekarang tidak.” Jawabanku yang selalu
sama.
Akhirnya kau
hanya tersenyum seperti biasa, senyum yang biasa saja.
“Mau enggak, aku kirimi novelku?” aku agak terkejut
dan menjawab sekenanya saja.
“Boleh.”
Terakhir kau meminta alamatku dan aku pun
memberikannya.
Saat itu aku masih bisa untuk tidak berpikir apapun
tentang obrolan kita seperti semua peristiwa biasa yang tidak pernah kupikirkan
sebelumnya. Aku sudah belajar banyak dan melalui proses panjang untuk bisa
menjalani setiap peristiwa dengan menganggapnya biasa saja. Aku sudah terbiasa tidak
memikirkan kenapa peristiwa itu terjadi dan tidak mengambil kesimpulan pada
setiap akhirnya. Bagiku kehidupan memang menyajikan pertemuan dan perpisahan, jadi jangan terlalu bahagia dan jangan terlalu
rasakan sakitnya. Jalani saja dengan santai sampai akhir dengan berpikir sederhana dan menyederhanakan pikir.
Sikap demikian
juga aku lakukan terhadap peristiwa
awal perkenalan kita di dunia maya yang tidak lagi kutemukan dalam ingatan.
Saat itu entah hari apa, entah langit berwarna biru muda atau biru tua. Yah, entahlah
aku benar-benar lupa hingga akhirnya
menganggapnya biasa saja.
“Kenapa tidak menulis lagi” tanyamu tanpa dosa.
“Malas,” jawabku datar tak tahu harus bagaimana.
Aku sudah lupa bagaimana caranya mengolah rasa. Hati
ini hanya tinggal organ tubuh yang tak tahu harus aku apakan keberadaannya.
Dulu aku telah membiusnya hingga tak bisa merasakan apa-apa.
“Dengan
keadaanku sekarang bagaimana mungkin aku bisa menulis lagi.” bicaraku dalam
hati.
“Sebagai mantan mahasiswa jurusan sastra, sayang
sekali waktu yang terbuang sia-sia jika
tidak digunakan untuk menulis dan bla bla bla….”Kali ini kau gunakan jurus
ceramah panjangmu untuk mengalahkanku.
“Tak tahulah,” aku pun menggunakan jurus kalimat andalanku
untuk menangkis seranganmu.
Entah sudah jam berapa ketika kau berhenti bersuara,
meninggalkanku yang hanya bisa terdiam tak
bisa ke mana mana. Di kamar yang kosong
dan ingatan yang kosong mataku terus saja menyala. Aku sempat ingin memanggilmu,
tapi tak tahu bagaimana caranya. Entah kenapa kali ini aku tak bisa bersikap
biasa saja, meski juga sadar jika orang lain hanya melihat kita sebentar,
menilai kita, kemudian lupa.
Hingga
kemarin aku tak bisa merasakan kedatangan siapapun. Meski terkadang ada yang membawa seikat bunga,
sekata cinta, bahkan sekedar ucapan salam kenal. tak ada yang berkesan dari setiap kedatangan,
kecuali hanya mencoba memahami setiap kepergian setelah mereka bosan dalam
penantian. Ada yang pergi sambil mengumpat seekor anjing, ada yang hanya menggumam
tapi kemudian berteriak di luar, dan ada
pula yang pergi tanpa kusadari ketika yang datang adalah pria yang sangat
hati-hati.
Dari setiap
lelaki yang datang tak ada yang berceramah sepertimu. Tak ada yang bertanya tentang masa
laluku. Tak ada yang menganggap apakah menulis itu penting atau tidak bagiku. Bukan
karna mereka tidak tahu, tapi karena dunia mereka berbeda denganku dan wajar
saja jika itu menjadi tidak penting bagi mereka. Sedang kau, meski aku sangat benci dengan
ceramahmu, tapi aku juga mengerti bahwa duniamu adalah masa laluku. Dan kau
hanya heran kenapa menulis hanya menjadi masa lalu untukku, padahal menulis
adalah masa lalu, masa sekarang, dan masa depan untukmu.
“Yuk menulis lagi..’ ajakmu dengan hangat.
“Malas,” jawabku
amat singkat.
Kupikir jawaban singkatku akan mempersingkat obrolan
kita, tapi ternyata tidak demikian. Malam ini kau menceramahi aku lagi. Kali ini tentang
kesenangan terhadap menulis dan hebatnya sebuah tulisan. Menurutmu, sebuah
karya tulis akan menjadi tanda keberadaanmu di atas bumi meski suatu saat nanti kau sudah tidak
terlihat lagi. Banyak yang kau katakan dan banyak pula yang tidak kudengarkan.
“Ayo, mulai menulis lagi,” ajakmu terakhir kali.
“Malas,” jawabku masih sama seperti saat kau mengajakku pertama kali.
Malam ini berakhir sama seperti malam sebelumnya. Mataku
terus saja menyala meski sudah kumatikan ponselku supaya tidak bisa lagi
mendengar ceramahmu. Situasi ini sungguh tidak adil, aku terus terjaga sedang
kau di sana tidur dengan nyenyaknya. Aku harus bagaimana, aku harus mengadu
pada siapa.
Seperti kau
yang selalu bertanya padaku, sesungguhnya aku juga ingin sekali bertanya
padamu. seandainya saja kau tahu tanpa aku harus mengatakannya pasti itu akan
sangat membantu. Tapi kenyataannya,
sekarang aku hanya bisa bertanya dan mencari sendiri berbagai kemungkinan
jawabannmu.
Mungkin kau akan menjawab, “Pasti ada hikmah di
balik setiap peristiwa,” atau, “Yah inilah
kehidupan, semua sudah direncanakan dan kita tinggal menjalaninya dengan
penerimaan.” Sedang kemungkinan jawaban lainnya, aku yakin pasti masih tetap
dengan isi yang sama hanya menggunakan diksi yang berbeda.
“Masihkah ada gunanya, jika ku lihat lagi masa laluku
sekarang,” tanyaku dalam hati.
Akhirnya aku jadi banyak bertanya dan kuwalahan
sendiri untuk menjawabnya. Aku juga mencoba mengingat apakah dulu aku bisa menulis,
seperti apa bentuknya dan di mana aku menyimpannya. Sepertinya ada kata-katamu yang terjebak di hatiku kemudian menguasai pikiranku.
Pada malam berikutnya, kaupun memanfaatkan
pertahananku yang sudah rapuh. Kau menyuruhku untuk membuat cerita pendek dan
mengirimkannya ke alamat emailmu yang kau beri jangka waktu sampai tanggal
terakhir bulan ini. Gayamu saat itu seperti
seorang guru yang kemudian aku iyakan seolah aku adalah muridmu. Mungkin karena aku telah kalah darimu dan
sebagai pihak yang kalah aku harus menuruti keinginanmu.
***
Maka Bacalah dengan teliti apa yang kutulis ini dan jangan
sampai ada yang terlewatkan. Karna mungkin di sana ada masa lalu yang bisa kubagi denganmu, sesuatu yang ingin
kubagi denganmu.
Tanggamus,
Februari 2014
Tidak ada komentar