Koneksi Antar Materi – Kesimpulan dan Refleksi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara

Admin
3 Nov 2021 09:02
Pendidikan 0 14
4 menit membaca
ki hajar dewantara

Koneksi Antar Materi – Kesimpulan dan Refleksi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara

Oleh: Chotibul Umam, CGP angkatan 4, Kabupaten Pringsewu

ragamkatakita.com – Semboyan pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang paling saya kenal adalah Tut Wuri Handayani. Semboyan lengkapnya adalah “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. 

Jika diterjemahkan, artinya kurang lebih seperti ini: seorang guru jika di depan menjadi teladan, di tengah membangun optimisme, dan di belakang memberi dorongan”

Dengan semboyan ini, pendidikan akan menjadi tempat atau ekosistem bagi anak untuk dapat mengembangkan diriya. Sedangkan guru, di manapun posisinya tetap berfungsi sebagai perantara bagi tercapainya cita-cita dan impian anak.



style=”display:block”
data-ad-client=”ca-pub-1149706441758329″
data-ad-slot=”7244662400″
data-ad-format=”auto”
data-full-width-responsive=”true”>

Pemikirran KHD yang Merubah Pemikiran saya, Sebagai Guru

Sebelum mempelajari materi ini, saya berfikir bahwa guru bisa mencetak, membentuk dan menjadikan anak untuk jadi ini dan jadi itu. Contohnya: guru bisa saja memaksa anak untuk menjadi seorang Hafidz, atau memberikan penidikan yang “mengharuskan anak untuk pinter matematika” dsb. Dengan metode pendidikan yang selama ini saya dapat dan saya pahami, saya cenderung memberikan pendidikan yang menekan anak sesuai apa yang saya pikirkan dan sedikit mengambil peran dan inisiatif anak.

Tetapi setelah saya belajar tentang konsep pendidikan yang dibawakan oleh KHD dalam modul 1.1 tentang Filosofi Pendidikan KHD, saya mengetahui bahwa anak adalah makhluk unik. Ia memiliki potensi dan segudang kemampuan yang ada sejak lahir. Guru hanyalah tuntunan, pamong, pendamping dan hanya bertugas mendapingi dan mengarahkan kemana anak akan tumbuh sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki. 

Dengan mempelajari modul 1.1 ini saya sangat setuju bahwa guru harus menempatkan diri sebagai tuntunan. Guru tidak bisa memaksa anak untuk dapat menguasai apa yang diluar potensi kamampuan anak. Selain itu, guru harus memberikan pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Pembelajaran harus membuat anak senang, dan oleh karena itu pendidikan hendaknya diberikan dengan hati yang gembira.

Pemikiran saya yang awalnya menganggap bahwa anak bisa dipaksa, yang dengan pemikiran ini saya sering memberikan pembelajaran yang kaku, menegangkan, dan mengekang anak agar mengikuti pembelajaran dengan tenang, diam dan anteng, saat ini saya berusaha untuk merubah pola pikir yang demikian.

Setelah mempelajari modul 1.1 saya berusaha menerapkan pembelajaran yang menyenangkan. Mengajak dan mengikutsertakan hati dan jiwa anak dalam setiap kegiatan, dan melibatkan anak untuk dapat memberikan ide dan gagasan yang mereka miliki.

Saya berusaha menghadirkan pembelajaran yang mampu mengeksplorasi kemampuan dan potensi anak agar anak ikut aktif dan senang di dalam proses pembelajaran yang terjadi. Dengan pembelajaran yang demikian, anak akan cepat dan mudah didalam menyerap pembelajaran yang saya berikan.



style=”display:block”
data-ad-client=”ca-pub-1149706441758329″
data-ad-slot=”7244662400″
data-ad-format=”auto”
data-full-width-responsive=”true”>

Catatan Yang Mungkin Penting! Menurut saya.

Pendidikan memang harus menyenangkan dan tidak mengekang anak. dan guru mamang sebagai tuntunan hanya bisa mendampingi dan tidak bisa mendikte.

Tetapi di dalam satu hal yang anak memang masih belum tahu tentang hal tersebut, dan jika dengan hati nurani seorang guru yang ikhlas, tanpa dendam dan tanpa memiliki motiv apapun selain lillahi ta’ala dan dengan didasari kasih sayang, seorang guru boleh saja menerapkan metode pendidikan yang cenderung mengekang anak.

Dalam bahasa agamanya, seorang guru boleh mencambuk anak. Dalam artian bukan cambuk sesungguhnya. Tetapi mencambuk jiwanya agar tidak kebablasan. Mencambuk jiwanya agar menyadari dan memahami tentang satu hal yang ia abai terhadapnya.

Mencambuk di sini saya artikan sebagai sebuah sikap dimana guru sebenarnya tidak mau bersikap seperti itu, tetapi itu harus dilakukan. Sebenarnya guru tidak mau menyakiti (mencambuk) anak, tetapi itu terpaksa ia lakukan itu demi kasih sayangnya pada anak. Ini yang kemudian saya sebut sikap peduli.

Tetapi, tidak semua guru mampu melakukan ini. Banyak guru yang justru memilih menghindar dari melakuan kepedulian semacam ini, dan tidak sedikit guru yang mencoba peduli, tetapi tidak didasri ikhlas dan kasih sayang, hingga akhirnya kebablasan menjadi kekerasan.

Saya berharap, bahwa saya bisa menjadi pribadi seorang guru yang mampu mengamban amanat sesuai dengan kodrat zaman dan kodrat alam. Saya berharap bahwa saya bisa menjadi guru yang dekat dengan anak, dan anak dekat dengan saya. 

Dengan demikian, saya akan menemukan jalan untuk dapat mendidik anak agar tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya dan akhirnya anak-anak akan menjadi pribadi yang unggul dan paripurna.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x
x