Di Ujung Jalan yang Sunyi

Admin
1 Jan 2025 00:53
cerpen Sastra 0 14
3 menit membaca

“Aku masih punya waktu,” gumam Fikri dalam hati, matanya menatap jalanan yang mulai gelap. Ia tahu bahwa malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia akan kembali bertemu dengan teman-temannya untuk balapan motor liar di jalan pinggiran kota.

Fikri adalah anak tunggal dalam keluarga sederhana. Ayahnya, Pak Ahmad, adalah seorang petani, sementara ibunya, Bu Siti, seorang ibu rumah tangga yang penuh kasih. Namun, perhatian Fikri mulai teralihkan sejak ia bergaul dengan teman-teman yang salah. Motor trek menjadi dunianya, kebut-kebutan menjadi candu yang menenggelamkan hati dan pikirannya.

Suatu malam, saat angin dingin berhembus, Fikri kembali berada di atas motornya. Suara knalpot memecah keheningan, sementara sorakan teman-temannya membakar semangatnya. Kali ini, ia memutuskan untuk mengambil jalur yang lebih berbahaya. Tikungan tajam dan tanjakan curam adalah tantangan yang dianggapnya sebagai pembuktian keberanian.

Namun, takdir berkata lain. Saat ia mencoba melibas tikungan, ban motornya tergelincir karena pasir di jalan. Dalam sekejap, tubuhnya terpental jauh ke tepi jalan. Dunia seolah melambat; suara-suara riuh berubah menjadi senyap. Tubuhnya menghantam keras aspal, dan pandangannya mulai kabur. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat langit malam yang gelap tanpa bintang. Hanya ada dingin yang menusuk tulang.

Fikri terbangun di rumah sakit dengan tubuh penuh luka. Di sampingnya, terlihat wajah ibunya yang pucat dan mata sembab karena menangis. Ayahnya duduk di sudut ruangan, wajahnya penuh guratan kesedihan.

“Fikri, apa ini yang kau mau?” tanya Bu Siti dengan suara bergetar. “Nyawamu hampir hilang, Nak. Apa kau sadar betapa berartinya dirimu bagi kami?”

Fikri hanya bisa terdiam. Ia merasakan sesak yang bukan berasal dari luka di tubuhnya, melainkan dari hatinya. Penyesalan mulai menghantamnya bertubi-tubi. Air mata perlahan mengalir di pipinya.

Di rumah, Fikri sering merenung. Ia teringat saat kecil, bagaimana ia sering duduk di pangkuan ibunya mendengar cerita-cerita tentang nabi dan perjuangan mereka melawan godaan dunia. Ia teringat ayahnya yang selalu mengingatkan untuk tidak melupakan shalat, tetapi semua itu ia abaikan demi kesenangan sesaat.

Suatu malam, ketika keluarganya sudah tertidur, Fikri mengambil wudhu dan duduk di atas sajadah yang telah lama ia abaikan. Tangisnya pecah saat ia bersujud.

“Ya Allah, ampuni aku. Aku telah jauh dari-Mu, dari keluargaku, dari kebaikan. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”

Hari-hari berikutnya, Fikri mulai menjauh dari teman-temannya yang buruk. Ia menghabiskan lebih banyak waktu membantu ayahnya di ladang dan menemani ibunya di rumah. Ia juga rajin mengikuti kajian di masjid dekat rumahnya. Kehidupannya perlahan berubah. Senyum yang dulu jarang terlihat di wajahnya kini kembali menghiasi hari-harinya.

Pada suatu malam, saat sedang membersihkan motornya, ia mendengar adzan berkumandang. Ia berhenti sejenak, menatap langit yang kini penuh bintang. Hatinya terasa damai.

“Aku masih punya waktu,” gumamnya lagi, kali ini dengan makna yang berbeda. Waktu untuk memperbaiki diri, waktu untuk mendekatkan diri pada-Nya, dan waktu untuk menjadi anak yang membanggakan kedua orang tuanya.

Di ujung jalan yang sunyi itu, Fikri menemukan cahaya yang selama ini ia cari. Cahaya yang membimbingnya kembali kepada Sang Pencipta, cahaya yang membuatnya mengerti arti hidup yang sesungguhnya.

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x
x