Benci dan Keikhlasan

Admin
3 Mei 2021 03:33
7 menit membaca


 Karya:
 Chotibul Umam


Andi dan Nisa adalah teman akrab semenjak mereka duduk di bangku SMP. Keakraban mereka lebih dari sekadar teman. Tak jarang mereka makan bersama, bergantian. Hari ini makan di rumah Nisa besok di rumah Andi. Hingga keluarga mereka menganggap keduanya sebagai saudara sendiri.
Kisah pertemanan ini berubah saat secara tidak sengaja, mereka menyukai sinetron yang sama. Sinetron baru yang tayang belum lama, bercerita tentang perjalanan cinta ank SMA. Sejak saat itu mereka mengungkapkan perasaannya melalui sms, saat menonton sinetron kesukaan mereka itu di rumah masing-masing. Saat ini keduanya duduk di bangku sekolah SMA. Pada sekolah yang sama.
***

Lebih dari tiga tahun Andi dan Nisa berteman, hampir tidak ada pertikaian antara keduanya. Namun semenjak lima bulan mereka jadian, pertengkaran sering terjadi.

“Kenapa kamu masih saja berbohong, An?” tanya Nisa.

“Apa maksudmu?” Andi balik bertanya.

“Bukankah kamu telah berjanji untuk tidak berbohong lagi?”

“Kamu tidak percaya padaku?” tanya Andi.

“Sudahlah, tidak ada alasan lagi bagiku untuk percaya padamu, An” kata Nisa.

“Kamu ini kenapa, Nis?” tanya Andi.

“Kemarin kamu batal main, katanya ada kegiatan di rumahmu. Tapi kamu malah pergi sama Nurul. Apa itu balasan kesabaranku padamu selama ini?” suara Nisa meninggi.

“Mulai saat ini, jangan temui aku lagi,” kata Nisa. Meninggakan Andi.

Ini adalah pertikaian Nisa dan Andi untuk kesekian kalinya, setelah sebelumnya Andi berbohong atas hal yang hampir sama. Dan entah, apakah esok Nisa akan kembali mepercayai Andi atau tidak, setelah kebohongannya yang berkali-kali itu.

Setiap kali Andi membohonginya, kebencian Nisa semakin menjadi, walau saat itu juga, ia teringat bahwa biasanya ia akan kembali percaya pada Andi, setelah ia dibohongi dan dibohongi lagi.

Demikianlah Kebencian, kemarahan dan kegetiran yang dirasakan Nisa, selalu melahirkan simalakama. Keinginan untuk menjauhi Andi dan kesabaran menanti setiap janji dan kata manisnya, selalu datang silih berganti hingga membuat hatinya sedih tak bertepi.

“Ya Tuhan, betapa lemahnya jiwaku ini,” lirih Nisa dalam hati.

Dalam balutan kesedihan mendalam, Nisa termenung menyendiri di kamarnya. Kesedihan dan hampa, menggulung kesadaran jiwanya. Ia hanya diam, dan tidak ingin bercerita pada siapapun. Karena dirumahnya, ibu bapaknya bukan lagi suami istri, yang menaunginya, sebagai anak semata wayang. Cinta terlarang yang dimainkan ibu bapaknya terhadap orang ketiga dan keempat membuat mereka egois dengan urusan cinta sendiri, tanpa memperhatikan anaknya yang sedang tumbuh kembang, bak bunga yang mekar.

“Kepada siapa lagi aku harus berkeluh kesah Ya Allah, hanya padaMu, aku memohon petunjuk dan berpasrah,” doa Nisa di hati.

Pelajaran agama yang diterimanya di sekolah, mengarahkannya sedikit, untuk berpasrah pada yang Sang Pencipta.

***

Di kantin sekolah.

“Dari mana Nisa tahu kamu pergi sama Nurul?” tanya Bagas

“Aah, itu tidak penting. Tenang saja, besok atau lusa, dia pasti tenang sendiri dan akan menerimaku lagi,” kata Andi, tersenyum puas.

“Tapi hati-hati, lho. Banyak mempermainkan perasaan wanita bisa kualat nanti,” kata Bagas.

“Aisysy…” Andi mencak.

“Kalau itu yang ngomong Nisa, mungkin saja aku percaya. Lha yang ngomong kamu, coba cewek kamu berapa?” tanya Andi, membelalakan mata ke muka Bagas.

“Banyak brooo”

“Ha ha ha” Mereka tertawa lepas.

***

 “Akhir-akhir ini kamu terlihat kurang ceria, ada apa, Nis?” tanya Leni, teman sekelas Nisa.

Nisa hanya diam. Pandangannya terpaku pada halaman buku yang ada di depannya. Semenjak pertemuan terakhir dengan Andi, hatinya tidak bisa tenang. Ada perasaan takut, khawatir, bersalah, dan entah terasa ada yang mengganjal di hati. Berat.

“Nis” panggil Leni, dengan suara keras.

“ I . . I . .  iya” Nisa kaget.

“Andi, Len” jelas Nisa.

“Ada masalah dengan Andi lagi?” tanya leni.

“Aku kira pertemananku dengan Andi yang telah lama, membuatku tahu segalanya tentang Andi. Sehingga aku mau jadian sama dia. Ternyata aku salah,” Jawab Nisa.

Kemudian Nisa menceritakan tentang kebohongan Andi. Ia juga bercerita, tentang keanenah yang ia rasakan. Di mana ia seperti wanita yang tak berdaya, menghadapi janji-janji Andi, walaupun sudah sering kali ia berjanji dan sering kali berbohong pula.

“Wah, bahaya itu, Nis?” kata Leni.

Nisa memandang Leni, tajam. Matanya menyiratkan keingintahuan mendalam.

“Kenapa?” Tanya Nisa.

“Saya yakin, itu ciri-ciri kamu kena guna-guna atau pelet, Nis. Bagaimana kalau saya antar kamu ke mbah Mijan,” kata Leni penuh keyakinan.

“Dari dulu, aku tidak pernah menyimpulkan dan mengaitkan setiap permasalahan yang aku hadapi pada hal seperti itu” kata Nisa dingin.

“Percaya atau tidak, tapi itu nyata ada. Teman saya, dibawa oleh seorang laki-laki selama tiga hari tidak pulang. Dan setelah pulang, ia selalu marah pada orang tuanya, lalu kabur lagi bersama laki-laki itu. Setelah di bawa ke mbah Mijan, ia sembuh, dan menurut pada orang tuanya lagi. Katanya ia kena guna-guna. Ciri-cirinya persis seperti yang terjadi padamu” Jelas Leni.

Nisa terdiam. Ia tidak menyangkal apa yang dikatakan Leni. Namun juga tidak ingi pergi menemui mbah Mijan.

“Eh, temani menghadap pak Adam, yuk,” ajak Nisa.

Pak Adam adalah guru Agama di sekolahnya.

“Ngapain?” Tanya Leni.

“Minta saran. Aku tidak ingin salah langkah, Len” kata Nisa.

***

Di hadapan meja kerja pak Adam, Nisa menuturkan apa yang dialaminya. Sementara Leni menemaninya duduk di samping. Diam.

“Kebencianmu dan dendammu pada temanmu itu, membuatmu semakin susah melepaskan diri darinya.” Jelas pak Adam.

“Terus aku harus bagaimana, pak?” Tanya Nisa.

“Perhatikanlah. Kamu harus tahu, siapa temanmu itu, dan siapa kamu. Kamu dan dia adalah orang lain, yang tidak saling terikat, kecuali oleh tali keimanan, jika ia beriman. Maka jika tali keimaman itu dikotori oleh kebohongan, ikhlaskanlah kamu untuk menjauhinya dengan tidak membencinya. Doakan dia, karena itulah yang membuatmu akan mudah untuk melupakannya,” jelas pak Adam.

Nisa mendengarkan dengan seksama. Ia menganggukkan kepala. Hatinya merasa sedikit tenang. Sejak saat itu, Nisa berusaha untuk melakukan apa yang disarankan pak Adam.

Namun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berkali-kali ia mencoba, selalu gagal dan gagal. Andi masih terlalu susah untuk dilupakan. Di tengah kesibukannya sekolah, ia kembali menghadap pak Adam. Setelah hatinya kembali tenang, masalah itu akan datang kembali, dan datang kembali.

Didampingi Leni, ia menangis sesegukan.

“Ini terasa berat pak,” kata Nisa.

“Bagaimana Shalat mu?” tanya pak Adam.

Tangis Nisa terhenti. Ia mengangkat wajahnya, dan berusaha tersenyum. Senyum yang dipaksakan, bercampur malu. Lalu menggelengkan kepala.

“Berusahalah sekeras tenaga, untuk merapatkan shalatmu, dan sering baca Qur’an, itu yang akan membantumu,” kata pak Adam.

***

Semenjak saat itu, Nisa menjadi wanita yang rajin Shalat dan baca Qur’an. Hingga ia melalui hari-harinya berubah menjadi keceriaan. Persoalan yang ia hadapi, terasa ringan dan tanpa beban.

“Bagaimana dengan Andi, Nis?” Tanya Leni, di suatu pagi.

“Sudah selesai” jawab Nisa enteng.

“Maksud kamu?” Tanya Leni penasaran.

“Sudah, tidak usah dibahas, sudah beres,” jawab Nisa.

 “Maksudnya Andi sudah tidak mengganggu kamu lagi. Kamu apain dia?” Leni semakin penasaran.

“Menghadap pak Adam, yuk” ajak Nisa.

“Ia, tapi . . .,” leni mendesak.

“Ayuuuk, mau ikut tidak?” Tanya Nisa.

Nisa berjalan di depan, sementara Leni megikuti dibelakanya.

***

Saat Nisa lewat depan kantin, Andi sedang berbincang dengan temannya. Sesekali mereka tertawa lepas, hingga membuat pembeli dikatin itu merasa terganggu.

“Eh, itu Nisa” kata temannya.

Andi memandang Nisa dengan raut muka dingin. Seolah hati dan pikirannya terhenti oleh pemandanngan yang ia lihat di depannya. Hati dan jantungnya berdegup kencang. Namun nyalinya ciut. Mukanya masam saat tatapan dan senyum wajah Nisa memandang sorot matanya yang liar.

“Eh, itu dia tersenyum ke kamu, dia sudah tidak marah lagi sepertinya.” Kata temannya yang lain.

Andi masih diam terpaku. Ia masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Nisa sedemikian ramah hari ini. Senyumnya terasa berbeda dari biasanya. Hatinya bergumul dengan berjuta pertanyaan, ada apa dengan Nisa. Seketika itu, ia merasa tidak pantas lagi mendekatinya. Kelakukan bejatnya selama ini, membayangi dan membuatnya semakin jauh dari Nisa. Semua itu mengutukinya, membuat ia luluh. Baginya, kini Nisa adalah sehampar mutiara yang jauh terlindungi.

                                                                                                                    Tanggamus, 10 Maret 2018 





Sumber Ilustrasi: https://pxhere.com/id/photo/1632796

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x
x